Jumat, 24 Februari 2012

Lusi Oh Lusi (Ay jalu dan Ay Kawai) Ketan hitam














PENGARUH KOMPOS ECENG GONDOK DAN KOMPOS KIAMBANG TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI KETAN HITAM (Oryza Sativa Var Glutinosa) PADA RAKIT BAMBU DI RAWA LEBAK


I.    PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Lahan rawa lebak terdapat cukup luas di Indonesia, merupakan salah satu alternatif areal yang dapat dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya alih fungsi lahan setiap tahun. Luas lahan rawa lebak di Indonesia diperkirakan seluas 13,3 juta ha yang terdiri dari 4,2 juta ha rawa lebak dangkal, 6,07 juta ha rawa lebak tengahan, dan 3,0 ha rawa lebak dalam, lahan tersebut tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Di pulau Sumatera lahan rawa lebak terluas di propinsi Sumatera Selatan yaitu sekitar 2,98 juta ha (Suparwoto dan Waluyo, 2009).
Menurut Bernas (2010), lahan rawa lebak digunakan petani menanam padi pada saat tinggi air menurun sekitar 20 cm, waktu tanam biasanya terjadi pada bulan Juni dan panen pada bulan Agustus setiap tahun. Jadi mereka mengolah lahan pertanian untuk 3 bulan dalam setahun. Petani tidak melakukan apapun untuk lahan mereka selama sekitar 9 bulan, hal ini karena tingkat air yang tinggi. Sehingga punya banyak waktu selama banjir dari bulan November sampai Mei. Salah satu cara untuk memanfaatkan lahan rawa selama banjir yaitu dengan menggunakan sistem pertanian terapung.
Sistem pertanian terapung bisa dimanfaatkan untuk budidaya tanaman dengan mengunakan rakit bambu. Adapun komoditas yang bisa di budidayakan pada penanaman terapung yaitu tanaman semusim, diantaranya  tanaman pangan seperti padi sawah, padi ketan dan tanaman sayuran seperti selada, kangkung, caisim, tomat, bayam, dan lain-lain. Pertanian terapung telah dipraktikkan oleh petani Bangladesh dan Myanmar sejak sepanjang waktu yang lalu (tiga sampai empat ratus tahun). Ini adalah salah satu praktik pertanian yang baik, karena pertanian terapung adalah     100 % organik, menyediakan produksi dua kali lipat dari lahan pertanian berbasis praktik, kurang dari ½ dari biaya pertanian lainnya, sepenuhnya bebas dari pupuk dan memiliki kemampuan daya penyerapan karbon dan dengan demikian menciptakan pemanfaatan secara bijak mengintensifkan air dan daerah lahan basah sebagai potensi penyelesaian masalah besar pada praktik perubahan iklim pertanian dan ketika produk menjadi berhasil, dan menghasilkan jumlah kompos yang banyak untuk penggunaan berikutnya (Assaduzzaman, 2004).
Penggunaan pupuk organik merupakan salah satu alternatif untuk mendukung hal tersebut. Salah satu  pupuk organik yang sering digunakan dalam budidaya tanaman adalah kompos. Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses pelapukan oleh mikroorganisme yang bekerja di dalamnya. Bahan organik yang banyak digunakan sebagai bahan kompos antara lain kotoran hewan, dedaunan, eceng gondok, kiambang dan lain-lain (Murbandono, 2004).
Bagi masyarakat di sekitar pinggiran sungai, eceng gondok adalah tanaman parasit yang hanya mengotori sungai dan dapat menyebabkan sungai menjadi tersumbat atau meluap karena eceng gondok terlalu banyak. Padahal eceng gondok ini dapat diolah menjadi pupuk organik. Eceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Perkembangan tumbuhan air eceng gondok di perairan sangat pesat. Sekilas tanaman eceng gondok tidak berguna. Sama halnya dengan kiambang yang juga merupakan tanaman yang dapat berkembang dengan cepat sehingga dapat menutupi danau, kolam atau pun daerah rawa dengan sangat cepat (Murbandono, 2004).
Menurut Murbandono, kiambang merupakan nama umum bagi paku air (Familia) dari genus salvinia. Eceng gondok dan kiambang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos yang bermutu baik bagi tanaman pangan maupun           sayur-sayuran.
                  Suswono (2011) menyatakan produktivitas tanaman pangan padi Indonesia lebih tinggi 20 % dibandingkan produktivitas negara-negara ASEAN lain. Indonesia memberi kontribusi 30 % terhadap produksi beras ASEAN. Jenis-jenis beras yang di konsumsi oleh masyarakat Indonesia merupakan beras dari padi ciherang, padi IR 64, padi ketan dan lain-lain. Padi ketan merupakan salah satu jenis tanaman pangan padi yang baik untuk dibudidayakan karena memiliki keunggulan seperti ketahanan terhadap hama, agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan terhadap penyakit, tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV, rentan terhadap strain VIII, dan memiliki beras yang di gemari oleh masyarakat Indonesia.
Atas dasar uraian-uraian tersebut maka perlu diadakan penelitian mengenai pengaruh kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap pertumbuhan tanaman padi ketan hitam (Oryza Sativa Var Glutinosa) dengan metode pertanian terapung.
B.  Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kompos Eceng gondok dan kompos Kiambang terhadap pertumbuhan tanaman padi ketan hitam (Oryza Sativa Var Glutinosa) pada sistem pertanian terapung.

C.  Hipotesis

1.    Diduga pemberian kompos eceng gondok dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman padi ketan hitam (Oryza Sativa Var Glutinosa) lebih baik dibandingkan kompos kiambang pada sistem pertanian terapung.
2.    Diduga dosis pemberian kompos eceng gondok dan kompos kiambang 20 ton ha-1 akan memberikan pertumbuhan padi ketan hitam (Oryza Sativa Var Glutinosa) lebih baik daripada dosis 10 ton ha-1.


       II. TINJAUAN PUSTAKA

A.  Rawa Lebak

Lahan rawa merupakan kawasan lahan bertopografi datar yang terdapat sepanjang kiri dan kanan sungai besar dan biasanya digenangi air selama beberapa waktu terutama pada musim hujan. Lahan rawa lebak merupakan agroekosistem yang pengembangannya masih tertinggal dibandingkan dengan agroekosistem lainnya seperti lahan kering atau lahan irigasi. Indonesia memiliki rawa lebak cukup luas sekitar 13,27 juta ha dan baru sebagian kecil atau kurang dari satu juta ha yang berhasil dimanfaatkan (Noor, 2007).
            Karakteristik rawa lebak ditentukan berdasarkan kendala dan lama genangan, serta pengaruh air sungai terhadap rawa lebak tersebut. Berdasarkan topografi, kedalaman, dan lama genangan, lahan rawa lebak dibedakan menjadi tiga kategori    (Direktorat Rawa, 1995), yaitu:
1.   Lebak pematang, yaitu: lahan yang terletak disepanjang tanggul aliran sungai, mempunyai kedalaman kurang dari 0,5 meter dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
2.   Lebak tengahan, yaitu: lahan yang terletak diantara lebak dalam dan lebak pematang, mempunyai kedalaman 0,5-1 meter dengan lama genangan 3-6 bulan.
3.   Lebak dalam, yaitu: lahan yang merupakan suatu cekungan mempunyai kedalaman lebih dari 1 meter dengan lama genangan lebih dari 6 bulan.
Sumber alami lahan rawa adalah limpasan dari air hujan. Sesuai dengan letak geografisnya, maka ketiga tipologi lahan rawa lebak (lebak pematang, lebak tengahan, dan lebak dalam) memiliki jumlah air tersedia yang berbeda-beda satu sama lain (Armanto et al., 2000).
Rawa lebak pematang akan tenggelam dan mempunyai air berlebih pada saat musim penghujan dan pasang naik, sebaliknya akan mengalami kekeringan pada saat musim kemarau. Rawa lebak tengahan selalu dalam keadaan tergenang oleh air hujan dan tidak dipengaruhi oleh air banjir dan sungai, sedangkan lebak dalam merupakan rawa lebak yang selalu dalam keadaan tergenang, sehingga pada saat musim tanam air tetap tinggi sehingga mencapai lebih dari satu meter (Armanto et al., 2000).

B.  Eceng Gondok

Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang berasal dari Brazil. Tumbuhan ini menyebar keseluruh dunia dan tumbuh pada daerah dengan ketinggian berkisar antara 0-1.600 m diatas permukaan laut yang beriklim dingin. Penyebaran tumbuhan ini dapat melalui kanal, sungai dan rawa serta perairan tawar lain dengan aliran lambat. Klasifikasi eceng gondok menurut Fahmi (2009) sebagai berikut:
Kingdom            :  Embryophytasiphonogama
Filum                  :  Magnoliophyta
Kelas                 :  Liliopsida
Ordo                  :  Liliales
Famili                 :  Pontederiaceae
Genus                 :  Eichornia
Spesies               :  E. crassipes
Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Eceng gondok memiliki tinggi sekitar 0,4-0,8 m dan tidak mempunyai batang. Daun eceng gondok tunggal dan berbentuk oval, ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal dan tangkai menggembung, permukaan daunya licin dan berwarna hijau. Bunga eceng gondok termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir kelopaknya berbentuk tabung. Biji eceng gondok berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau serta akarnya merupakan akar serabut             (Fahmi 2009).
            Perkembangan eceng gondok berkembang pesat pada perairan rawa dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk kompos. Kandungan N,P,K kompos eceng gondok (dalam % berat kering) masing-masing adalah 0,4 N, 0,114 P dan 7,53 K, sedangkan C-organik adalah 47,61 (Wahyu, 2008). Menurut Fryer dan Matsunaka (1988), eceng gondok merupakan bahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai pupuk organik karena berdasarkan hasil analisa di laboratorium mengandung antara lain 1,681% N, 0,275% P, 14,286% K, 37,654% C, dengan nilai C/N 22,339. Kemudian menurut Asrijal et al., (2005), tanaman yang diberi 2 ton/ha kompos eceng gondok memberikan produksi tinggi pada tanaman padi gogo dan kedelai, yang ditanam secara tunggal masing-masing sebesar 5, 267 ton/ha dan 2,056 ton/ha.

C.  Kiambang

Kiambang merupakan nama umum bagi paku air (Familia salviniaceae) dari genus salvinia. Tumbuhan ini biasa ditemukan mengapung di air menggenang, seperti kolam, sawah dan danau, atau di sungai yang mengalir tenang.
Kerajaan          : Plantae
Divisi                : Pteridophyta
Kelas               : Pterisopsida
Ordo                : Salviniales
Famili               : Salviniaceae
Genus               : Salvinia Seg
Species            : Salvinia natans
Kiambang memiliki dua tipe daun yang sangat berbeda. Daun yang tumbuh di permukaan air berbentuk cuping agak melingkar, berklorofil sehingga berwarna hijau, dan permukaannya ditutupi rambut berwarna putih agak transparan.      Rambut-rambut ini mencegah daun menjadi basah dan juga membantu kiambang mengapung. Daun tipe kedua tumbuh di dalam air berbentuk sangat mirip akar, tidak berklorofil dan berfungsi menangkap hara dari air seperti akar. Orang awam menganggap ini adalah akar kiambang. Kiambang tidak menghasilkan bunga karena masuk golongan paku-pakuan.
Sebagaimana paku air (misalnya semanggi air dan azolla) lainnya, kiambang juga bersifat heterospor, memiliki dua tipe spora: makrospora yang akan tumbuh menjadi protalus betina dan mikrospora yang akan tumbuh menjadi protalus jantan. Paku air ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, kecuali sebagai sumber humus (karena tumbuhnya pesat dan orang mengumpulkannya untuk dijadikan pupuk), kadang-kadang dipakai sebagai bagian dari dekorasi dalam ruang, atau sebagai tanaman hias di kolam atau akuarium (Wikipedia, 2011).
       Sukman dan Yakup (1991), menyebutkan bahwa kiambang banyak menimbulkan masalah pencemaran sungai , tetapi mempunyai manfaat sebagai bahan baku pupuk tanaman yang mengandung unsur NPK yangmerupakan tiga unsur utama yang dibutuhkan tanaman. Dari sisi kandungannya, kiambang mengandung protein sederhana 15 – 29%, konsentrat protein daun 48 – 60%, serat 14 – 17%, beta karotin 53.330,46 IU, kalsium 6%, lemak 4,1 – 5,8%, serta mineral lain seperti Fe, Mn, Mg, Na, Cu, Zn, dan asam amino.
D.  Padi Ketan Hitam

            Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Permintaan akan beras terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Beras tidak hanya merupakan sumber energi dan protein, tetapi juga sumber vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi kesehatan. Dalam era modern, masyarakat menaruk perhatian yang besar terhadap kesehatan, antara lain dengan mengatur gaya hidup, pola makan, dan menu makanan. Beras ketan dan beras merah adalah dua jenis bahan pangan yang dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Beras ketan dapat dikonsumsi sebagai nasi atau diolah menjadi tepung untuk aneka kue dan makanan kecil lainnya. Beras ketan seluruh bagian butirnya mengapur atau kelam, tetapi kekerasan butirnya sama dengan beras bukan ketan (Watabe dalam Damardjati dan Purwani 1991).
             Beras ketan ada dua jenis yaitu ketan putih dan hitam.  Beras ketan mengandung amylosa berantai lurus dengan ikatan 1-4 alfa-glikosidik, sedangkan amylopektin berantai cabang dengan ikatan 1-4 alfa dan 1-6 beta glikosidik pada percabangannya dengan panjang rantai 20-26 satuan glukosa. Berdasarkan kandungan amilosanya ada 4 macam jenis beras, yaitu beras dengan amilosa tinggi (lebih dari 25% bk), beras dengan amilosa sedang (20-25% bk), beras dengan amilosa rendah (9-20% bk), dan beras dengan amilosa sangat rendah (0-2% bk). Beras ketan mengandug amilosa sangat rendah (0-2%), dengan kata lain lebih banyak mengandung amylopektin (sampai 98%).
            Beras ketan hitam merupakan pilihan yang paling baik. Warna hitam beras diatur secara genetik dan dapat berbeda karena adanya perbedaan gen yang mengandung warna aleuron, ensospermia dan komposisi pada endospermia. Beras putih warnanya agak transparan hanya memiliki sedikit aleuron dan mengandung amylosa sekitar 20%. Pada beras hitam, kandungan aleuron dan endospermia memproduksi antosianin dengan intesitas tinggi sehingga warna beras menjadi ungu pekat mendekati hitam (Widiastuti, 2010).
Manfaat beras ketan hitam itu banyak sekali diantaranya adalah:
1. Ketan hitam membantu pembentukan sel darah merah sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh terhadap beberapa penyakit. Karena ketan hitam memiliki kandungan zat besi hingga 15,52 ppm, kandungan itu berkhasiat untuk tubuh.
2. Khasiatnya memperbaiki kerusakan sel hati (hepatitis dan chirosis), mencegah        gangguan fungsi ginjal, mencegah kanker dan tumor, memperlambat penuaan.   
3.  Berfungsi sebagai antioksidan, membersihkan kolesterol dalam darah, dan             mencegah anemia (Orlando, 2011).



III.    PELAKSANAAN PENELITIAN

A.     Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di lahan rawa lebak Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Inderalaya pada bulan Saptember sampai bulan Desember 2011. Analisis contoh tanah dilakukan di Laboratorium Fisika dan Konservasi Tanah serta Laboratorium Kimia, Biologi dan Kesuburan Tanah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.
B.     Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) tanah lebak, 2) kompos eceng gondok dan kiambang, 3) benih padi ketan hitam, dan                    4)  bahan-bahan analisis di laboratorium.
Alat-alat yang digunakan antara lain: 1) rakit bambu, 2) papan sekat,             3) cangkul 4) mistar ukur, 5) tali plastik, 6) alat-alat analisis di laboratorium.
C.     Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan percobaan lapangan dengan menggunakan  Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan faktor perlakuan pupuk eceng gondok dan pupuk kompos kiambang. Setiap rakit disekat menjadi 8 ruangan untuk tempat perlakuan, Rakit 1 (R1) diberi 2 dosis yaitu 10 ton per ha (4,5 kg per ruangan pada rakit) dan 20 ton per ha (9 kg per ruangan pada rakit) pupuk kompos eceng gondok. Sedangkan pada rakit 2 (R2) diberi 2 dosis yaitu 10 ton per ha (4,5 kg per ruangan pada rakit) dan 20 ton per ha (9 kg per ruangan pada rakit) pupuk kompos kiambang. Masing-masing ulangan diulang sebanyak 4 kali, sehingga terdapat 2 x 2 x 4 = 16 unit percobaan.  
D.    Cara Kerja
            Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahapan yaitu: 1) persiapan, 2) pekerjaan lapangan, dan 3) pengumpulan, pengolahan data serta pembuatan laporan. Adapun uraiannya sebagai berikut:
1.   Persiapan
            Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu:
a.    Studi kepustakaan, mengumpulkan literatur yang berhubungan dengan penelitian.
b.   Melakukan survei dan menentukan lokasi survei penelitian.
c.    Menyiapkan peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan lapangan, yaitu rakit bambu terapung dengan ukuran 300 cm x 150 cm dan pupuk kompos serta       alat-alat lainnya.
2.   Pekerjaan Lapangan
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu:
a.    Pengambilan tanah rawa lebak untuk media tanam yang diletakan pada setiap rakit sebanyak 208 kg.
b.   Pemberian pupuk kompos pada setiap rakit sesuai petakan berdasarkan dosis 10 ton ha-1 dan 20 ton ha-1.
c.    Pembuatan lubang tanam dengan jarak 12 cm x 12 cm, kedalaman 3-5 cm.
d.   Penanaman benih padi ketan hitam, pada setiap lubang tanam sebanyak 3 benih.
e.    Pemilihan dan meninggalkan salah satu tanaman yang terbaik setiap lubang tanam pada minggu kedua.
f.     Melakukan pemeliharaan tanaman padi ketan hitam dari hama dan penyakit
g.    Pengamatan tanaman setiap satu kali dalam seminggu terhadap pertumbuhan tanaman padi ketan hitam.
h.    Pengamatan terakhir pada masa primordia.

3.   Pegumpulan, Pengolahan  Data serta Pembuatan Laporan
Data yang telah diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan  dan analisis di Laboratorium diintepretasi agar dapat disajikan dalam bentuk deskriptif dalam bentuk laporan.
E.     Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian adalah:
1.      Analisis awal media tanam ( pH, KTK dan C-Organik)
2.      Analisis awal air rawa lebak
3.      Tinggi tanaman (setiap minggu)
4.      Jumlah anakan (setiap minggu)
5.      Kadar air (setiap minggu)
6.      Jumlah anakan maksimum
7.      Jumlah anakan produktif
8.      Waktu primordia
9.      Analisis tanah pada waktu primordia (pH, N-total, C-Organik)
F. Analisis data
            Data yang didapat diolah secara statistik dengan sidik ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK). Apabila hasil sidik ragam menunjukan pengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5 %.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.     Karakteristik Tanah Awal
            Hasil analisis tanah (Lampiran 1) berdasarkan kriteria yang dikeluarkan Pusat Penelitian Tanah 1983 menunjukkan, bahwa tingkat kesuburan alami tanah yang digunakan dalam penelitian ini rendah, dengan reaksi tanah sangat masam (pH 3,68), KTK rendah (15,58 cmol(+) kg-1), C-organik tinggi (3,74%).
            Ciri kimia tanah di atas menunjukkan bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini apabila digunakan untuk membudidayakan tanaman pangan akan mempunyai beberapa kendala, antara lain pH tanah yang sangat masam dan KTK tanah yang rendah. Walaupun kandungan C-organik tinggi namun KTK tanah rendah. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahan organik tanah belum terdekomposisi dengan baik, oleh sebab itu masih diperlukan penambahan pupuk organik untuk memperbaiki tingkat kesuburan pada Inceptisol. Menurut Munir (1996), salah satu usaha untuk meningkatkan produktifitas tanah mineral masam yang mempunyai kesuburan rendah dapat dilakukan dengan melalui penambahan bahan organik dan pemupukan.

B. Karakteristik Air Awal
            Hasil analisis air (Lampiran 1) berdasarkan kriteria kualitas air menunjukkan, bahwa tingkat kesuburan alami air yang digunakan dalam penelitian ini rendah, dengan reaksi airnya yang masam (pH 4,55). Ciri kimia air diatas menunjukkan bahwa air yang digunakan dalam penelitian ini apabila digunakan untuk membudidayakan tanaman akan mempunyai kendala yaitu pH air yang masam tetapi pH masam ini tidak mengganggu pertumbuhan tanaman jika kandungan tanah sudah diberi bahan organik karena pH air dipengaruhi oleh pH tanah dan kandungan kation-kation lain di dalam tanah (Kurniati, 2009).
            Dengan demikian, kualitas air dipengaruhi langsung oleh kualitas tanah itu sendiri. Menurut Notohadiprawiro (2006), salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan pemberian bahan organik dan pemupukan. Oleh karena itu, pemberian bahan organik dan pemupukan sangat diperlukan untuk meningkatkan pH tanah dan penyediaan unsur-unsur lain di dalam tanah dan ini akan menyebabkan kualitas air temasuk pH air rawa akan ikut serta meningkat juga.

C. Kadar Air Tanah

            Grafik pengaruh kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap kadar air tanah tanaman padi ketan hitam, seperti tertera pada gambar 1.       
Gambar 1. Grafik kadar air tanah tanaman padi ketan hitam
            Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan kompos tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah pada minggu ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 sedangkan perlakuan kompos berpengaruh nyata terhadap kadar air tanah pada minggu ke 8, 9 dan 10 (Lampiran 3). Hasil uji BNT menunjukkan bahwa kadar air tanah terbaik terdapat pada perlakuan 20 ton ha-1 eceng gondok dan kiambang di minggu ke 8, 9 dan 10 (Tabel 1).                       
Tabel 1.   Pengaruh pupuk kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap kadar air tanah (%) padi ketan hitam.

Minggu
Kadar air (%)
BNT
Ke
Kiambang (ton ha-1)
Eceng Gondok (ton ha-1)
(0,05)

10
20
10
20

1
68,62
81,33
71,82
72,42
tn
2
55,10
66,48
59,06
55,26
tn
3
58,02
70,86
62,22
72,00
tn
4
60,32
73,20
78,79
61,36
tn
5
75,45
87,89
86,40
81,90
tn
6
67,71
73,07
66,88
65,19
tn
7
59,50
70,60
67,33
63,89
tn
8
76,81 a
81,91 ab
69,65 a
93,62 b
14,41
9
71,64 b
76,85 b
58,82 a
69,44 b
9,73
10
62,70 a
77,03 b
76,79 b
73,33 b
10,57
Keterangan:   Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama     menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji F 5%.

            Dari Tabel 1, dapat kita lihat bahwa pengaruh perlakuan kompos terhadap kadar air tanah sudah terlihat pada minggu ke 8. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya bahan organik maka semakin meningkat kadar air tanah. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002) menyatakan bahan organik dapat meningkatkan daya menahan air, sehingga kemampuan tanah untuk menahan air menjadi          lebih banyak.                                                                                        
            Status air tanah berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara bagi tanaman. Kandungan air tanah yang rendah dapat mengakibatkan rendahnya konsentrasi unsur hara yang ada di dalam larutan tanah (Agustina, 2004). Tanaman padi pada sistem SRI hanya memerlukan genangan air sekitar 2 cm, genangan dangkal tersebut hanya digunakan untuk menjaga kelembaban tanah agar padi dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar suplai oksigen ke akar cukup sehingga padi menjadi sehat (Wiyono, 2004). Pada sistem SRI air tergenang, sedangkan sistem pertanian terapung air tidak tergenang, dan hanya pada kadar yang tinggi pada penelitian ini sudah cukup untuk pertumbuhan padi.

D. Pertumbuhan Tanaman Padi Ketan Hitam

                                               1. Tinggi Tanaman                           
Grafik pengaruh kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap tinggi tanaman padi ketan hitam, seperti tertera pada gambar 2.
Gambar 2. Grafik tinggi tanaman padi ketan hitam
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan kompos tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ketan hitam pada minggu ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 sedangkan perlakuan kompos berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ketan hitam pada minggu ke 8, 9 dan 10 (Lampiran 4). Hasil uji BNT menunjukkan bahwa tinggi tanaman terbaik terdapat pada perlakuan 20 ton ha-1 eceng gondok di minggu ke 8, 9 dan 10 (Tabel 2).
Tabel 2.   Pengaruh pupuk kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap tinggi tanaman (cm) padi ketan hitam

Minggu
Tinggi tanaman (cm)
BNT
Ke
Kiambang (ton ha-1)
Eceng Gondok (ton ha-1)
(0,05)

10
20
10
20

1
1,3
1,4
1,6
1,6
tn
2
15,9
17,2
14,3
15,3
tn
3
25,8
27,7
25,4
24,3
tn
4
36,5
36,2
34,1
35,5
tn
5
45,5
51,1
48,1
47,4
tn
6
54,7
54,3
52,4
55,3
tn
7
64,70
63,10
62,78
67,88
tn
8
67,5 a
66,5 a
67,6 a
72,2 b
2,9
9
71,20 a
72,58 a
69,35a
76,78 b
3,42
10
76,83 b
76,65 b
73,55 a
82,35 c
3,07
Keterangan:   Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji F 5%.

Dari Tabel 2, pengaruh pupuk kompos eceng gondok dan kiambang baru tampak pada minggu ke 8, 9 dan 10 pada dosis 20 ton ha-1. Tinggi tanaman terbaik dicapai dengan perlakuan 20 ton ha-1 eceng gondok, ini disebabkan karena kandungan N di kompos eceng gondok lebih tinggi dibandingkan kiambang lihat (Lampiran 8).
Menurut Simatupang (1992), unsur hara yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman menjadikan fotosintesis berjalan dengan aktif sehingga proses pemanjangan dan pembelahan sel akan lebih cepat. Terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara oleh tanaman dapat meningkatkan proses pertumbuhan tanaman, terutama tinggi tanaman.                                                                                                         

2. Jumlah Anakan


Grafik pengaruh kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap jumlah anakan padi ketan hitam, seperti tertera pada gambar 3.
 Gambar 3. Grafik jumlah anakan tanaman padi ketan hitam

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk kompos tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan padi ketan hitam pada setiap minggunya (Tabel 3). Hal ini diduga karena pengaruh perlakuan pupuk kompos yang diberikan bereaksi lambat sehingga peranan pupuk kompos dalam membentuk anakan padi ketan hitam tidak berpengaruh pada setiap perlakuan. Perlakuan pupuk kompos eceng gondok memberikan hasil jumlah anakan yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pengaruh perlakuan pupuk kompos kiambang.
Tabel 3.   Pengaruh pupuk kompos eceng gondok dan kompos kiambang terhadap jumlah anakan/rumpun padi ketan hitam

Minggu Ke
Jumlah anakan/rumpun
BNT (0,05)
Kiambang (ton ha-1)
Eceng Gondok (ton ha-1)
10
20
10
20
3
1,3
2,0
2,0
2,3
tn
4
2,3
2,5
2,5
2,8
tn
5
3,3
4,0
3,5
3,8
tn
6
5,3
5,8
5,8
6,0
tn
7
8,8
9,8
9,8
10,0
tn
8
11,5
13,8
13,3
13,0
tn
9
14,3
14,8
15,0
15,0
tn
10
16,0
16,3
16,0
17,5
tn
Keterangan:   Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji F 5%.


3. Jumlah Anakan Maksimum

            Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pupuk kompos tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum padi ketan hitam pada minggu ke 10 (Tabel 4). Hal ini diduga karena pengaruh perlakuan pupuk kompos yang diberikan bereaksi lambat sehingga peranan pupuk kompos dalam membentuk dan meningkatkan anakan maksimum padi ketan hitam tidak berpengaruh pada setiap perlakuan.                                                                                                    Diduga juga salah satu unsur hara makro pada kompos yaitu nitrogen (N) belum berperan dalam merangsang dan meningkatkan jumlah anakan padi ketan hitam. Sesuai dengan pendapat Yoshida (1981) mengatakan bahwa nitrogen sangat berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman dan dalam merangsang jumlah anakan padi yang kekurangan hara nitrogen pertumbuhannya menjadi lambat dan tanaman menjadi kerdil serta jumlah anakan yang sedikit. Perlakuan pupuk kompos eceng gondok memberikan hasil jumlah anakan maksimum yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pengaruh            perlakuan pupuk kompos kiambang.                          Tabel 4.   Jumlah anakan maksimum/rumpun padi ketan hitam pada minggu ke 10

Jumlah anakan maksimum/rumpun
Ulangan
Kiambang ton ha-1
Eceng gondok ton ha-1

10
20
10
20
1
15
17
18
16
2
17
18
15
15
3
16
15
16
17
4
16
15
15
22
Jumlah
64
65
64
70
Rata – rata
16,0
16,3
16,0
17,5
BNT (0,05) = tn






4. Jumlah Anakan Produktif

           
            Berdasarakan hasil penelitian terhadap jumlah anakan produktif tanaman padi ketan hitam pada rakit bambu, perlakuan kompos tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah anakan produktif tanaman padi ketan hitam pada minggu ke 10 (Tabel 5). Pada dosis 10 ton/ha dan 20 ton ha-1 belum cukup untuk meningkatkan jumlah anakan produktif, karena kandungan P yang rendah dan tidak ada pupuk tambahan. Karena itu perlu menambah pupuk buatan atau meningkatkan pupuk kompos. Sesuai dengan pendapat Heryadi et al., (1989), bahwa P berpengaruh positif pada peningkatan jumlah anakan produktif.
 
Tabel 5.   Jumlah anakan produktif/rumpun padi ketan hitam pada minggu ke 10

Jumlah anakan produktif/rumpun
Ulangan
Kiambang ton ha-1
Eceng gondok ton ha-1

10
20
10
20
1
7
9
9
8
2
8
7
9
8
3
7
9
8
8
4
7
9
7
9
Jumlah
29
34
33
33
Rata – rata
7,25
8,5
8,25
8,25
BNT (0,05) = tn





5. Waktu Primordia
           
            Berdasarkan hasil penelitian terhadap waktu primordia tanaman padi ketan hitam yang tumbuh pada rakit bambu, waktu primordia tanaman padi ketan hitam terjadi pada minggu ke 10 pada setiap perlakuan. Hal ini berarti pemberian kompos tidak memperlambat waktu primordia padi ketan hitam karena waktu tanaman berbunga sangat tergantung pada sifat genetiknya. Tanaman padi ketan hitam memerlukan unsur hara fosfor (P), pertumbuhan tanaman akan terhambat apabila fosfor tersedia dalam jumlah yang kecil. Fosfor juga berguna pada saat awal pemasakan tanaman, terutama tanaman serelia. Menurut Wild (1988) fosfor merupakan faktor penting dalam menentukan fase primordia, dimana kekurangan fosfor akan menyebabkan terlambatnya fase tersebut.

 E. Karakteristik Tanah pada Waktu Primordia
Tabel 6.   Karakteristik tanah pada waktu primordia
Parameter
Perlakuan
BNT
(0,05)
Kiambang (ton ha-1)
Eceng Gondok (ton ha-1)
10
20
10
20
pH H20 (1:1)
5,1
4,49
5,07
5,43
tn
N-total (%)
0,2
0,18
0,19
0,2
tn
C-organik (%)
3,63 c
3,20 ab
2,54 a
3,25 b
0,7
Keterangan:   Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama                 menunjukkan berbeda tidak nyata pada taraf uji F 5%.

            Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pupuk kompos eceng gondok dan pupuk kompos kiambang tidak berpengaruh nyata terhadap pH dan N-total tanah pada setiap perlakuan sedangkan pupuk kompos eceng gondok dan pupuk kompos kiambang berpengaruh nyata terhadap C-organik pada setiap perlakuan. Hasil uji BNT menunjukan bahwa C-organik tertinggi terdapat pada perlakuan 10 ton ha-1 kiambang (Tabel 6). Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah pada waktu primordia dalam penelitian ini memiliki kesuburan tanah yang rendah. Diduga karena kriteria pH tanah masam dan N-total rendah yang menyebabkan pH dan N-total tanah tidak memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanah pada waktu primordia, meskipun  C-organik tinggi. Menurut Munir (1996), salah satu usaha untuk meningkatkan produktifitas tanah mineral masam yang mempunyai kesuburan rendah dapat dilakukan dengan melalui penambahan bahan organik dan pemupukan.      Penambahan pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah mineral masam. (Lund dan Doss, 1980; Aidi et al., 1996) pemberian pupuk organik dapat meningkatkan daya larut unsur P, K, Ca dan Mg, meningkatkan C-organik, kapasitas tukar kation, kapasitas tanah memegang air, menurunkan kejenuhan Al dan bulk density (BD) tanah. Hasil penelitian Hairunsyah (1991) dan Raihan dan Nurtirtayani (2001) yang mengemukakan bahwa kandungan N-total tanah mengalami peningkatan dengan pemberian pupuk organik. Tetapi hasil analisa menunjukan pH masam dan N-total rendah kemungkinan sebagian sumbangan hara dari pupuk kompos eceng gondok dan pupuk kompos kiambang sudah diserap oleh tanaman. Bahan organik masih tinggi terutama kiambang dapat disebabkan oleh kiambang yang merupakan tanaman paku air yang bahan organiknya lebih lambat terdekomposisi dibandingkan dengan eceng gondok.

 V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.  Perlakuan pupuk kompos tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif dan waktu primordia terhadap pertumbuhan tanaman padi ketan hitam.
2.  Perlakuan pupuk kompos kiambang 20 ton ha-1, pupuk kompos eceng gondok             10 ton ha-1 dan 20 ton ha-1 meningkatkan kadar air tanah secara nyata dibandingkan perlakuan pupuk kompos kiambang 10 ton ha-1.
3.  Perlakuan pupuk kompos eceng gondok 20 ton ha-1 meningkatkan tinggi tanaman secara nyata dibandingkan perlakuan pupuk kompos eceng gondok 10 ton ha-1, pupuk kompos kiambang 10 ton ha-1 dan 20 ton ha-1.
B. Saran
Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai residu pupuk kompos terhadap tanaman lain.

  DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, J. S dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. Hlm. 29-50. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah an Agroklimat> Badan Litbang Pertanian.

Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta.

Armanto, M. E. 2000. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Asrijal et al.,.2005. Penggunaan Bokashi Eceng Gondok pada Sistem Pertanian Tunggal dan Tumpangsari Jagung dan Padi Gogo. Bogor.

Assaduzzaman, M. 2004. Floating Agriculture in the flood-prone or submerge in Bangladesh (Southern regions of Bangladesh) Bangladesh Resource for indigenous Knowledge (BARCIK). Dhaka, Bangladesh.

Bernas, S. M. 2010. Potential Of Floating Holticulture System On Swampland In South Sumatera. Prosiding: International Seminar On Holticulture To Support Food Security. Unila, Bandar Lampung, 22 Juni.

Direktorat rawa. 1995. Kebijaksanaan Departemen Pekerjaan Umum dalam Rangka Pengembangan Daerah Rawa. Sumatera Selatan.

Fahmi. 2009. Pemanfaatan Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku Pembuatan Briket [Skripsi] Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan.

Geovani, O. 2011. Manfaat Beras Ketan Hitam Untuk Tubuh Kita. http://geovaniorlando.blogspot.com. Diakses Tanggal 26 September 2011.

Hairunsyah. 1991. Pengaruh empat jenis bahan organik pada tiga dosis pemberian N     terhadap pertumbuhan dan hasil gabah pada padi sawah beririgasi. Kindai,         Vol. 2 (2): 5-9. Balitbang Pert. Balittan banjar baru.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Rajawali Pers. Jakarta.

Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu. 1995. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta.

Heryadi, S., Santosa, dan A. Sofyan. 1989. Hubungan antara Kejenuhan,         Kemasaman dan Ketersediaan Fosfat dengan Produksi Tanaman Padi dan      Kedelai pada Tanah Podsolik di Sitiung. PPT, Bogor.

J. D. Fryer, Shooichi Matsunaka, 1988. Penanggulangan Gulma secara Terpadu.

Kurniati, H. 2009. Morphological Variations of Sumatran Torent           Frogs, Huia      Sumatrana.

Lund, F. Z. and B.D. Doss. 1980. Residual effect of dairy cattle manure on plant           growth and soil properties. Agron. J. 72 : 123-130.

Sukman dan Yakup, 1991. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Ghalia Indonesia

Suwono. 2011. 10 Juta Ton Surplus Beras di Indonesia.           http://mediakrasi.wordpress.com.

Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama di Indonesia. Karakteristik, Klasifikasi, dan Pemanfaatannya. Pustaka Jaya. Jakarta.

Murbandono, L. H. S. 2004. Membuat kompos, Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta.

Noor, M. 2007. Ekologi, Pemanfaatan, dan Pengembangan Rawa Lebak. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Notohadiprawiro, T. 2006. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Nyakpa, M. Y., A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. G. Amrah, A. Munawar, Go Ban Hong dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Rosmarkam, A., N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta.

Simatupang, P. 1992. Pengaruh Beberapa Bahan Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Wortel. J. Hortikultura 2 (1) : 16-18.

Suparwoto dan Waluyo. 2009. Peningkatan Pendapatan Petani di Rawa Lebak Melalui Penganekaragaman Komunitas. Pembangunan Manusia. 7 (1): 1- 9.

Wahyu. 2008. Sirih Merah, Dulu Hiasan Kini Obat. http://www.surya.co.id/web.           Diakses tanggal 11 Februari 1012.

Widiastuti, NPA. 2010. Menjaga Kulit Tetap Cantik Dengan Beras Ketan Hitam.  http://nursingisbeautiful.wordpress.com. Diakses tanggal 26 september 2011.

Wikipedia Bahasa Indonesia. 2011. Kiambang. Http. id. Wikipedia. Org. Diakses Tanggal 26 September 2011.

Wild, A. 1988. The Relation of Phosphate by Soil: a review. J. Soil Sci. 1: 221: 237.

Yoshida, 1981. Fundamental of Rice Crop Science. International Race Research Institute (IRRI). Los Banos. Laguna Philipines.